Kota Tebing Tinggi adalah salah satu kota madya yang ada di sumatra utara. Kota tebing tinggi merupakan kota yang sangat penting , karna merupakan kota persimpangan. Dimana kota ini menjadi jalur segitiga. Yaitu menuju kota medan , menuju kota siantar ( pintu masuk ke danau toba ) , dan menuju kisaran ( kabupaten asahan ). Kota tebing tinggi berkembang dengan sangat pesat karna kondisi tersebut. Dimana kota ini merupakan kota tempat berkumpulnya pendatang. Kota tebing tinggi juga terkenal akan kue pia dan lemangnya.
Dimula tahun 1607 dibawah kepemimpinan Iskandar Muda, Aceh semakin berjaya. Ia menaklukkan Sumatera Timur, Tanah Melayu hingga Melaka guna menguasai hasil bumi untuk ekspor.
Aksi penjajahan ini menurunkan pembesar kerajaan, misalnya Ulèëbalang ke wilayah Sumatera bagian timur. Sebut saja dua bangsawan Aceh beserta rombongan. Satu Ulèëbalang kelak menjadi zuriat Datuk Paduka Raja Batangkuis Kesultanan Serdang, ialah Ulèëbalang Lumu. Sedang satu bangsawan belia mendarat di Bandar Khalifah bernama Umar.
Tidak cukup menaklukkan Bandar Khalifah, Umar menyusuri pedalaman di hulu Raya. Saat di hutan Tongkah, ia bertemu dengan rombongan Raja Tongkah bernama Guk Gukber-clan Saragih yang sedang berburu pelanduk. Sekarang Tongkah ini bernama Kampung Muslimin dekat Nagaraja kecamatan Tapian Dolok (Perbatasan Serdang Bedagai dan Simalungun). Salak anjing buruan tak berani menggigit Umar, karena Umar seperti mampu menundukkan anjing menyalak. Raja itu terkagum-kagum melihat sosok Umar, lalu mengangkatnya menjadi putera angkat, karena Raja itu belum memiliki keturunan.
Sebagai anak dari ‘rumpun buluh’ (istilah lain untuk menyebut anak yang diangkat bukan dari pemberian orang tua kandungnya langsung, namun dianggap anak yang diutus Tuhan), kehadiran Umar ternyata membawa tuah, istri raja akhirnya melahirkan. Anak yang dilahirkan tersebut dinamai Raja Betuah Pinangsori.
Di wilayah Tongkah ini, diketahui adanya puing-puing peninggalan zaman Hindu purba, Rajanya pernah membantu temannya bernama Peresah untuk merebut tahta Kerajaan Nagur (Kerajaan sezaman Aru).
Ringkas kisah, Umar akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya ke hilir. Menyusuri hutan Tongkah menuju wilayah Bajenis (kini Kota Tebing Tinggi). Di wilayah yang berpadang di tempat tersebut, dia memulai membangun kekuasaan dengan gelar Baginda Saleh Qamar pada 1630. Inilah awal berdirinya Kerajaan Padang, awal mula pemerintahan di Tebing Tinggi dan sekitarnya. Dia mangkat pada 1640.
Dari salinan data yang berasal dari naskah tua dari Zuriat Kerajaan Padang Tebingtinggi yang aslinya ditulis dengan aksara arab berbahasa Melayu asal-usul berdirinya Kerajaan Padang, bercerita bahwa keturunan raja di negeri Padang yakni turunan dari sebuah wilayah di hulu raya.
Pada zaman dahulu adalah bangsawan bernamanya Guk Guk, dia pergi berburu pelanduk ke hutan, karena istrinya sedang hamil dan mengidam ingin memakan pelanduk, maka pergilah Guk Guk bersama orang kepercayaan kerajaan dan masyarakatnya membawa anjing buruannya. Namun tak seekor pelanduk atau kancil yang dapat, tetapi ketika hendak pulang ke kampung, anjing pemburunya tiba-tiba menyalak melihat batang buluh beruas besar. Buluh itu kemudian dibawa pulang ke rumah. Saat itu juga Raja Guk Guk melihat istrinya melahirkan anak laki-laki kemudian diberi nama Raja Betuah Pinang Seri. Secara bersamaan Raja Guk Guk dikejutkan dengan kemunculan anak laki-laki yang ada di dalam bambu besar yang dibawanya tadi. Anak yang ada di dalam bambu itu kemudian diberi nama Umar Baginda Saleh (pendiri Kerajaan Padang). Karena terjadi perselisihan antara keluarga, maka Umar Baginda Saleh merantau ke hilir hingga menetap di wilayah Tebingtinggi sekarang yaitu di Bajenis Tebingtinggi.
John Anderson, tentang Kuala Padang menulis: a considerable sized river. This is an independent state. Radja Bidir Alum, the present chief, has reigned nineteen years. His son is Radja Muda Etam. The two principle villages are Bandar Khalifah, containing 500 inhabitants, and Bundar Dalam, 600 Malays. There are about 3000 triebe Kataran in the country. The first village is half a tide up.
Berikut urutan Raja-Raja di Kerajaan Padang:
- Tuanku Umar Baginda Saleh
(+/- 1630 - 1640)
- Marah Sudin
- Raja Saladin
- Raja Adam
- Raja Syahdewa
- Raja Sidin
- Raja Jamta Melayu gelar
Raja Tebing Pangeran (1806-1853)
- Marah Hakum gelar Raja Geraha (1853-1870)
- Tengku Haji Muhammad Nurdin gelar Maharaja Muda Wazir Negeri
Padang 1870-1914). Pemangku: Tengku Abdurrahman (Berahman), dengan ekspansi Deli dalam pemerintahan langsung yang menghunjuk wakil Deli yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888). Tengku Ibrahim dan Tengku Djalaluddin - Tengku Temenggung Deli (Pemangku 1914-1926).
- Tengku Alamsyah gelar Tengku Maharaja Bongsu (1926-1931).
- Tengku Ismail (1931-1933).
- Tengku Hassim (Tengku Hassim lahir pada 29 Januari 1902 di
Bandar Sakti, menjabat pada1933-1946)
- Tengku Izhanolsyah (wafat tahun 1982)
- Tengku Nurdinsyah al-hajj gelar Tengku Maharaja Bongsu (2004 –
sekarang)
Tuanku Umar Baginda Saleh yang membuat istana di Bajenis – Tebing Tinggi, memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Raja Zaenab yang menikah dengan orang Barus. Setelah Tuanku Umar Baginda Saleh mangkat 1640, Raja beralih kepada Marah Sudin.
Marah Alimaludin memperluas wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Masa itu Marah Adam turut di Pabatu. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Marah Saladin yang terpusat di Bulian. Di zamannya terkisah banyak kejayaan, meski umur dia tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780 berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin,serta Raja Jamta Malayu gelar Raja Tebing Pangeran.
Di masa Raja Jamta Melayu yang sewaktu kecil disebut Marah Titim inilah terbentuk negeri yang bernama Tebing Tinggi hingga dia bergelar Raja Tebing Pangeran. Di masa dia 1806 - 1853, Tebing Tinggi banyak berbenah sebagai pusat perdagangan dan tata nilai lainnya.
Di zaman Raja Pangeran ini, banyak berdatangan orang luar Tebing Tinggi untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata, Rotan dan lainnya.
Di zaman ini pula dibangun pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Menurut catatan; Jamta Malayu atau Raja Tebing Pangeran mengajak salah seorang putranya Raja Syah Bakar (dialek tempatan menyebut dengan: Raja Syahbokar) untuk membantu dia mengatasi upaya ekspansi Deli 1853. Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan kesatria berdarah Bugis.
Raja Padang memimpin perlawanan, peperangan hingga Deli; Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan menghitam karena menganak sungai yang kering, hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Sungai Berong (Berong = Hitam – pinggiran luar Tebing Tinggi).
Dalam sebuah referensi, Titim atau Jamta Malayu gelar Raja Tebing Pangeran gugur di tangan Panglima Daud. Sumber lain mengatakan bahwa Raja Tebing Pangeran turut gugur di mata keris milik Kerajaan Padang yang direbut Panglima Daud di Kampung Juhar – Bandar Khalifah.
Selanjutnya Kerajaan Padang dipimpin Marah Hakum gelar Raja Geraha yang dibantu pula oleh para pembesar, sebut saja Orang Kaya Bakir yang sebelumnya sudah memegang jabatan Bendahara. sebutan Raja Geraha bagi Marah Hakim adalah, karena ia dari zuriat semenda , sebab ayahandanya adalah berasal dari bangsawan Barus.
Di zaman Raja Geraha 1853 – 1870 ini, Raja mengangkat kerapatan ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya, Misalnya Tengku Bendara, Tengku Penasihat, Datuk Penggawa, Datuk Syahbandar, Tumenggung, Tungkat, Mufti, Penghulu, dan lainnya. Tampak nama-nama Tuan Rambutan, Orang Kaya Syahimbang, Datuk Alang dan lainnya.
Pada 6 Oktober 1865, residen Riau yaitu E Netscher atas nama Gubernemen mengeluarkan akta yang menetapkan daerah taklukkan (kewaziran) Kesultanan Deli yaitu Kerajaan Padang, Kerajaan Bedagai, Denai dan Percut. Raja Geraha tidak setuju, kemudian berhenti dan digantikan puteranya Marahuddin, oleh Deli diberi gelar Tengku Maharaja Muda Wazir Padang. Sedang Orang Kaya Majin gelar Indera Muda Wazir Bandar Khalifah yang menjabat selama 7 tahun lalu wafat dan digantikan puteranya Muda Indera.
Di masa pemerintahan Marahuddin gelar Tengku Haji Muhammad Nurdin (1870 – 1914), banyak terjadi kerjasama dengan Raya dan lainnya. Meski Deli menganggap dia sebagai Wazir Deli dengan gelar Maharaja Muda, namun Raja Raya sangat mengakui penuh status raja dia; bahkan Raja Raya banyak belajar sistem pemerintahan kepada kerajaan Padang, di satu sisi kerajaan Padang memperoleh bantuan pasukan dari Raya. Walau pernah terjadi kisah, saat utusan Tengku Muhammad Nurdin datang ke Raja Raya – Rondahaim, dengan membawa buah tangan berupa gramafone, Raya Raya menolak mentah mentah buah tangan yang dianggapnya sebagai khazanah kolonial.
Wilayah Tongkah (Kampung Muslimin sekitarnya dekat Nagaraja ), oleh Tengku Muhammad Nurdin kembali dihidupkan, dengan mewazirkan Tengku Penasihat, yaitu Sortia - putra Jamta Melayu gelar Raja Tebing Pangeran. Tengku Sortia membawakan para pekerja penanam tembakau dari etnis china. Secara berkala Tengku Sortia tetap melaporkan kondisi perkebunan ke Bulian di Tebing Tinggi (ibu negeri kerajaan Padang) karena dia juga Tengku Penasihat, hingga perkebunan ini menjadi aset penting bagi kerajaan Padang hingga masuk revolusi sosial 1946. Di wilayah Tongkah ini, Sortia cukup disegani dan dianggap memiliki kharisma tersendiri, hingga masyarakat etnis Simalungun disana menggelarnya dengan ‘Parmata’ (memiliki mata bathin).
Padang juga lebih mengaktifkan perikanan di wilayah Bandar Khalifah sebagai pemasukkan lain selain tembakau dari wilayah Tongkah. Zuriat Raja Tebing Pangeran yang berada di Bandar Khalifah bekerjasama dengan kaum dari Orang kaya Majin gelar Indra Muda Wazir Bandar Khalifah, menghidupkan perekonomian kerajaan ini.
Tengku Muhammad Nurdin yang lahir 1836 dan mangkat pada 1918 ini, ingin agar Tengku Abdurrahman (Burahman), puteranya dari istri Haji Rahmah (Cik Puang Muncu clan Saragih Raya), untuk menikah dengan puteri Raja Syahbokar yang masih belajar di Makhtab Pagurawan, yang kemudian dibawa ke Bulian. Namun beberapa tahun kemudian datang Tengku Achmad - utusan Sultan Deli, untuk meminta puteri Raja Syahbokar.
Tengku Maharaja Nurdin awalnya menolak lalu dipanggil Sultan Deli ke Medan, tapi cuma bertemu orang besar bernama Tengku Usup. Karenanya pada 1885 Maharaja Padang – Tengku Haji Muhammad Nurdin diturunkan. Dia digantikan puteranya Tengku Burahman yang diawasi Tengku Sulaiman - Deli.
Muncullah pemberontakan yang turut melibatkan pasukan Rondahaim dari Raya. Belanda Menilai pemberontakan ini cukup membahayakan hingga 1888, Tengku Haji Muhammad Nurdin ditahtahkan kembali sebagai Maharaja Padang.
Pada 1914 Maharaja meminta berhenti karena uzur. Putera dia dari Puansuri Tengku Syarifah Jawiyah – Kedah, yaitu Tengku Alamsyah masih berhalangan, maka untuk sementara diangkatlah pejabat, yaitu Tengku Ibrahim dan Tengku Jalaluddin - Tumenggung Deli, sampai Tengku Alamsyah berkebolehan. Tengku Alamsyah ditabalkan menjadi raja Kerajaan Padang dengan gelar Tengku Maharaja Bongsu, 1926. Meski saat Tengku Alamsyah dinobatkan menjadi Maharaja, Deli berpendapat bahwa turunan Jamta Melayu gelar Raja Tebing Pangeran lah yang berhak menjadi raja. selanjutnya menjadi raja Tengku Ismail (1932-1933) dan Tengku Hassim (menjabat pada1933 – hingga muncul revolusi sosial 1946).
Kerajaan Padang masa itu dihuni penduduk Melayu dan etnis pendatang. Hingga kini bukti-bukti multi etnisitas itu terlihat dari penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Tebing Tinggi., seperti, Kampung Jawa, Kampung Begelen, Kampung Rao, Kampung Mandailing, Kampung Tempel, Kampung Batak dan Kampung Keling. Penamaan kampung yang terakhir ini berlokasi di pinggiran sungai Padang –saat ini terletak di Kelurahan Tanjung Marulak—menginformasikan bahwa pada masa Kerajaan Padang wilayah itu sudah di huni salah satu suku bangsa dari anak benua India. Bukti arkeologis keberadaan etnis anak benua India itu dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah perahu bergayaHindu mengendap dari kedalaman sungai Padang di Desa Kuta Baru sekira lima tahun lalu. Namun sayang, bangkai kapal itu hancur karena tidak terawat.
Demikian pula dengan keberadaan Tionghoa telah ada seiring dengan perkembangan hubungan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. Tionghoa kala itu, banyak menghuni pinggiran muara sungai Bahilang.
Di samping kedua etnis ini, orang-orang Belanda juga belakangan menghuni Kerajaan Padang . Ini dibuktikan dengan adanya perkuburan mereka yang disebut Kerkof (kuburan) di Kampung Bagelen –sekarang di Jalan Cemara.
Beberapa kampung yang spesifik dari kegiatan penduduk kala itu juga masih terabadikan hingga kini, misalnya Kampung Bicara, Bandar Sono, Kampung Persiakan, KampungDurian, Kampung Jati, Kampung Sawo, Kampung Kurnia, Kampung Jeruk, Kampung Semut, Kampung Tambangan, Kampung Sigiling dan Kampung Badak Bejuang serta beberapa kampung lainnya.
0 komentar :
Posting Komentar